Kenapa Cinta Begitu Mudah Untuk.....
Januari 01, 2016
Kehidupan
mungkin memang telah beranjak dan berubah tiap tahun
Lantunan
terompet dan bisingnya petasan dengan bunga bunga indah yang menembak kearah
langit menjadi ritual pergantian tahun.
Tapi
rasanya, diri ini masih tetap sama. Masih tetap takut untuk menghadapi hidup
yang baru.
Semua
membuat pikiran tak henti berbicara secara diam.
Terus
bertanya tanpa jawaban, terus menerka tanpa kepastian.
Kebahagiaan
memang sangat gampang untuk dicari, tapi semangat untuk bahagia? Siapa yang
bisa memberi?
Aku tidak tahu
ini menjadi firasat awal tahun yang menakutkan, atau hanya bergetar sementara.
****
Namaku Alisya. Tepat ditanggal 18
Agustus lalu aku baru saja menginjak usia 17 tahun. Aku anak akselerasi IPA
dibangku SMA, tahun ini adalah tahun yang sangat aku nantikan, tahun dimana aku
akan menjadi mahasiswa dan melepas seragam putih abu-abuku. Aku tidak sabar
untuk menginjak lantai kampus dengan sepatu warna warniku. Tak sabar untuk
bebas mengekspresikan siapa diriku. Kuliah pasti akan menjadi tempat yang
sangat menyenangkan. Tanpa hitungan matematika, hapalan biologi, dan ilmu ajaib
kimia. Dan tentunya tanpa cerita cinta yang sama.
Akhirnya waktu yang aku nanti
nantikan itu tiba, menyambutku dengan hangat. Aku ingin kembali ke kota dimana
pertama kali aku sekolah, Bandung. Kota yang mengajariku hidup dari usia 3
tahun. Aku juga sangat bersyukur sekali bisa masuk perguruan tinggi yang aku
inginkan, Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Komunikasi, bidang yang
selama ini aku tekuni dari bangku SMP. Sesampainya di Bandung mungkin sangat
berat untuk meninggalkan Bunda, Ayah, dan si Kecil Ayla. Tapi aku harus keras
dengan diriku sendiri. Membulatkan tekad dan sadar aku harus menutupi itu semua
untuk mengejar semua impianku.
Awal menginjak bumi Bandung, mata
seakan berhenti berkedip beberapa saat. Kota yang aku tinggalkan 14 tahun yang
lalu sudah berubah total. Bandung yang kurindukan selama ini terlalu berubah
sangat cepat, kota dipenuhi bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi.
Keramah tamahan penduduknya sirna dengan aktivitas sibuk sendiri. Aku seolah
menjadi orang asing, yang benar benar asing untuk tinggal di kota ini. Shock sesaat, tapi aku tidak mungkin
juga mengurungkan niat lalu kembali ke kota asal.
View Bandung mungkin berubah, tapi ada
sesuatu yang tidak pernah berubah. Aku masih bisa merasakan detak Bandung yang
mengajarkan tentang semua kehidupan. Aku seperti bayi yang memulai hidup dan
belajar berjalan menghapalkan setiap skema yang sudah ditentukan, lalu hanya
mengikuti alirannya. Walaupun aku tidak tahu berhenti dimana, tapi aku sadar
karena disetiap yang aku lalui pasti akan ada memberikan kesan yang bermakna.
Terbiasa dengan kesibukan aktivitas
di SMA menjadikan aku tidak terlalu shock
untuk menjalani kegiatan kampus. Tapi ternyata, rasa menggebu-gebu ingin masuk
kuliah itu hanya berlangsung sesaat. Sebulan aku menjalani kuliah, aku jadi
rindu akan kebiasaan saat di bangku SMA. Rindu belajar sampai sore, rindu ejek-ejekan
sama guru, rindu membuat kelas menjadi gaduh, rindu dengan tingkah yang konyol
dan nggak ada yang bisa marah, rindu saat…. Ahh sudahlah hal yang sudah berlalu memang hanya menyisakan rindu.
Berjalan tiga bulan, aktivitas dan
tugas kampus semakin padat. Teman teman sekelas semakin muak dan berencana
untuk refreshing. Dan satu kelas
sepakat untuk membuat acara camping
ke pantai, nggak jauh-jauh kita masih di wilayah sekitar Bandung. Tepatnya hari
Sabtu pukul 4 sore kita janjian untuk kumpul dan memulai perjalanan Tapi
kebiasaan jam karet masih belum lepas, finally
kita baru turun bertepatan waktu magrib. Ketua camping menyarankan untuk setiap cewek tidak membawa kendaraan, so mau tidak mau aku barengan dengan teman cowok sekelasku, Randa.
Aku bahagiaaaa sekali malam itu,
menikmati dinginnya perjalanan dan bisa menyaksikan bintang berkedip dan
sepanjang malam aku masih tetap terjaga tanpa tidur, memandangi bintang yang
genit untuk terus berkedip. Melihat bintang jatuh, dan desiran ombak yang
menggelitik telingaku. Malam itu benar benar malam yang indah, malam yang
menenangkan dan tidak akan pernah terlupakan. Sayangnya, ketika kebanyakan
teman menikmati dengan baper (sebutan sekarang dengan kepanjangan bawa
perasaan) tidak dengan aku. Aku masih belum bisa merasakan apa apa tentang
“kedekatan”.
Aku kalah dengan teman-temanku yang
sudah semakin dekat dan mengenal karena friendzone.
Seperti Randa yang sudah memulai aksinya untuk mendekatkan Helen, teman cewek
baikku dikelas. Sepanjang diperjalanan Randa terus menceritakan kisah masa
lalunya dan membandingkan dengan Helen. Terdengar sangat mengasikkan ketika orang sedang jatuh cinta, semua hanya
terlihat indah dan mengagumkan. Setiap
tutur yang dikeluarkan Randa semuanya berupa pujian untuk Helen.
Setelah pulang dari pantai Randa
semakin sering menghubungiku, bukan menanyakan tentang kabarku, tapi tentang
Helen. Malam demi malam kita sering bercerita dan bertukar pikiran, aku dan
Randa memang sudah seperti sahabat. Aku juga tidak sungkan untuk memberikan
kode pada Helen apa yang tengah dirasakan oleh Randa. Walaupun masih dalam
rahasia, karena Randa takut untuk kecewa lagi, dia belum siap.
Bulan demi bulan Randa dan Helen
semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Pergi ke kampus
bersama, jalan-jalan, atau membicarakan hal yang tidak penting hingga membuat
keributan dikelas. Semua teman juga tahu kedekatan mereka. Aku hanya bisa
menilai, apa secepat itu cinta datang karena zona yang dekat? Apa semudah itu
cinta mengubah rasa takut menjadi berani?
Namun sesuatu menghentakkan
pikiranku. Sifat Randa berubah. Berubah menjadi sosok yang sangat peduli
denganku. Bukan sekedar antar sahabat, tapi ada hal yang lebih. Aku mencoba
menutupi dan membuat sugesti kemungkinan yang lain, tapi wanita ya wanita.
Tidak cukup bodoh untuk menerka setiap tingkah yang beda, aku juga tidak
mungkin menjadi sosok yang munafik dari tingkah laku Randa kepadaku. Aku masih
belum menemukan jawaban, apa yang membuat cintanya berpindah hati? Kurasa
hubungan aku dan Randa tak sedekat hubungannya dengan Helen. Posisi ini semakin
membuatku sakit.
Sudah setahun aku memupuk rasa
tentang cinta, menutup semua akan rasa fatamorgana. Aku terlalu takut untuk
membuka kembali. Hingga sebenarnya aku yang membodohi diriku sendiri. Bodoh
menjadi sosok yang tidak peka dan tidak tahu akan bahasa tersirat. Mungkin aku
lupa. Lupa bagaimana trik lelaki mendekati wanita, membodohi wanita. Takut
untuk semakin jauh, aku berhenti berhubungan dengan Randa.
Sudah dua minggu, chatting dari Randa yang meramaikan
handphoneku tak pernah terdengar lagi. Kita hanya say helo saat berpapasan, berbincang seadanya tanpa keseruan. Aku
menghindar, dan aku juga merasakan dia melakukan hal yang sama. Kita sama sama
takut, takut untuk menghancurkan persahabatan ini dengan tingkah kita yang
egois. Karena sampai kapanpu, aku tidak akan pernah bisa falling in love with my bestfriend.
Lukaku yang lalu sudah terlalu
dalam. Membuat traumatis hingga enggan untuk menyentuh dunia itu lagi. Aku
belum siap menikmati tetesan air mata karena hal bodoh. Seberapapun pria menjanjikan kebahagiaan, kesedihan juga terus
bergulir bersamanya. Aku belum cukup kuat tentang cinta, aku juga lupa
bagaimana cara untuk dekat dan memilih untuk menjatuhkan hati. Aku takut salah,
aku tidak mungkin menuliskan kesedihan dua kali.
Tapi, hilangnya Randa dariku juga
membuat dadaku sesak. Something lose. I
don’t know what I feel. Aku merasakan hal yang abstrak, bingung dan butuh.
Semudah itukah cinta datang karena terbiasa? Kenapa cinta selalu datang dengan
berbagai cara? Tak cukupkah geraknya terbaca hingga bisa terhindar? Entah
kenapa, disaat aku sangat merasa butuh, ia kembali. Dan aku tidak cukup kuat
untuk mengusirnya lagi.
Menutup tahun 2015, aku mencoba
membuka lembar baru, 1/365 of 2016. Tapi rasa masih tetap sama. Hari baru
ternyata masih tak mampu membuat bahagia yang sempurna, semakin larut semakin
kebahagaiaan itu sirna. Aku seperti terkurung dengan beribu pertanyaan,
pertanyaan yang tak memiliki jawaban. Kebingunganku menghadirkan ketakutan. Takut
cinta hanya hinggap sejenak, dan meninggalkan selama-lamanya.
*Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan tempat kenangan, nama, dan kejadian yang tak terlupakan*
0 komentar